“Masih Ada Bhineka di Tepi Hutan Lore Lindu”

“bantuan untuk memerbaiki dan membangun Gereja sudah banyak yang membantu. Kami berharap bantuan perbaikan atau pembangunan tempat ibadah dapat diperbantukan untuk pembangunan Mushola yang sampai saat ini belum ada yang membantu pembangunan tempat ibadahnya.”

Kristison Towimba, SP. (37 tahun)
Kepala Desa Tangkulawi, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi

Kecilnya jumlah penganut Agama Islam Desa Tangkulowi tidak menjadikan mereka tersisihkan. Praktik toleransi terhadap minoritas ditujukkan nyata dalam kehidupan sehari hari. Hanya 25 KK dari 122 KK masyarakat yang tinggal di Desa Tangkulawi beribadah dengan keterbatasannya. Jauh dari tempat ibadah desa lain yang teletak kurang lebih 1 km dengan medan yang berbukit, tidak memungkinkan mereka khusuk dalam beribadah. Apalagi banyak anak yang membutuhkan pendidikan keimanan agar nilai nilai islami yang baik dapat tumbuh berkembang dengan umat yang lain. Sebagai kaum minoritas, mereka bisa hidup bersama dengan umat lain yang mayoritas dengan saling menghormati dan bekerja sama. Bahkan perbedaan keyakinan tersebut tidak menyebabkan konflik yang mencederai kehidupan sosial bermasyarakat.

Perbedaan keyakinan cenderung memberikan keindahan tersendiri. Keterikatan sosial tersebut dibuktikan dengan beberapa kegiatan keagamaan diantara mereka. Seperti pada perayaan hari besar agama, mereka saling terlibat, membantu, dan aktif bekerja sama merayakan dan bahkan mendukung dalam setiap pendirian tempat ibadah. “Kami diundang dan ikut kebaktian dalam gereja ketika Natal atau perayaan umat Kristen dan sebaliknya saat Sholat Ied saudara saudara Nasrani mengatur kendaraan bermotor, dan memberikan selamat dengan mengunjungi kami ketika perayaan Idul Fitri di kampung ini”, imbuh Taufik (53 tahun), Kepala Dusun 2 Desa Tangkulowi menjelaskan keharmonisan antar umat beragama Desa Tangkulowi. Keindahan kerukunan ini mendorong umat nasrani mendukung pendirian Mushola untuk Dusun 2 dan Dusun 3 Desa Tangkulowi.

Kebiasaan yang telah lama ada tersebut, diakui oleh Syahran (35 tahun) “kami membantu bergotong royong bersama membangun gereja. Bahkan saya sendiri ikut terlibat memotong kayu dan membawa menggunakan tali ke Tangkulawi bersama warga lain.” tegasnya. “seperti layaknya gotong royong mendirikan rumah, kami makan bersama dan saudara saudara nasrani selalu memeringatkan waktu sholat kami.” imbuh pemuda yang menjadi Ketua Panitia Pembangunan Mushola di desa ini.

Desa Tangkulowi berada di celah tepi hutan Lore Lindu atau tepatnya pada kawasan area penggunaan lain Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah ini merupakan wiayah yang terpencil dari layanan pemerintah atau sekitar 1-3 jam perjalanan dengan sistim buka tutup karena masih terjadi longsoran tanah dan batu yagn merusak infrastruktur jalan.

Keterpencilan tersebut membuat banyak pihak lalai dalam memberikan layanan kebuthan dasar bagi masyarakat di beberapa kampung yang berdekatan dengan Desa Tangkulawi seperti Desa Boladangku dan Bolapapu. Pelayanan hak-hak dasar bagi masyarakat sekitar kawasan ini didominasi dari pelayanan penginjil melalui layanan kesehatan dan pendidikan. Pengaruh layanan hak dasar ini mendorong masyarakat asli mendapatkan kepercayaan baru untuk dianut sebagai keyakinan yang dipilih oleh mayoritas masyarakat Desa Tongkulawi yang sebagian besar menganut agama Kristen.

Sedangkan keberadaan Agama Islam di kawasan ini dipengaruhi oleh “kawin-mawin” dengan warga diluar Desa Tangkulowi, Desa Bolapapu, dan Desa Boladangku. “..masuknya agama Islam ke Desa Tangkulowi karena terjadi kawin-mawin antara warga Desa Tangkulowi dengan Desa lain yang kebetulan beragama Islam. Seperti anak saya ikut masuk Islam karena suaminya dari Desa Namo beragama Islam dan tinggal di kampung ini (Tangkulowi)…” seperti yang dituturkan Raja Nai (65 tahun), Kepala Lembaga Adat Desa Tangkulowi.

Tahun 2014, Desa Tangkulawi melalui musrenbangdes mengalokasikan pembelian tanah untuk pendirian Mushola agar mendukung ibadah umat muslim di kedua dusun ini yang berjumlah 25 Kepala Keluarga. Warga Desa Tangkulowi khusunya Kepala Desa Tongkulawi sangat memperhatikan pendidikan keimanan anak-anak dari keluarga muslim karena ketiadaan rumah ibadah. “…saya terdorong melihat anak-anak dari saudara kami muslim belum mendapatkan ajaran keimanan yang mereka yakini,

Toleransi masyarakat muslim dan nasrani, terlihat dari gotong-royong pembangunan Mushola Al-Falaq dengan dukungan ICCO-Penabulu di Desa Tangkulowi.

Kristison Towimba (Kepala Desa Tangkulowi) menegaskan kebijaksanaannya ketika Tim ICCO – Penabulu akan memberikan bantuan perbaikan gedung gereja akibat kerusakan yang ditimbulkan gempa bumi di Desa Tongkulowi. Penegasan Kepala Desa tersebut menjadi potret keharmonisan dari keberagaman keyakinan masyarakat Desa Tongkulowi yang membuktikan masih ada bhineka di tepi Hutan Lore Lindu.

Dengan melihat kondisi dan rekomendasi dari pemerintah desa dan masyarakat Desa Tangkulowi, Program Relief ICCO-Penabulu melakukan serangkaian dukungan pemulihan pembangunan desa. Sejauh ini kami telah mendistribusikan 80 paket peralatan pertukangan ke 109 KK untuk pembangunan hunian sementara dan terbangunnya 6 ruang MCK untuk pemenuhan 52 KK, 177 jiwa. Dukungan lain yang segera kami selesaikan di bulan Januari yaitu pembangunan mushola permanen untuk sarana ibadah 25 KK, 91 jiwa, pipanisasi untuk pemenuhan air bersih 35 KK, 57 jiwa dan 3 ruang MCK untuk pemenuhan 12 KK, 36 jiwa.