Koordinasi dan Sinergi Antar Lembaga Bantuan yang Bekerja di Desa Jono dan Wisolo, Kecamatan Dolo Selatan, Januari 2019

Kantor Penabulu, Kota Palu, Tanggal 16 Januari 2019

Beredarnya Surat Keputusan Gubernur No.360/509/BPBD-G-3T/2018 tentang perpanjangan status transisi tanggap darurat ke tahap pemulihan pasca bencana selama 60 hari terhitung sejak tanggal 26 Desember 2018 sampai dengan tanggal 23 Februari 2019.

Berbasis SK tersebut, Penabulu melakukan inisiasi pertemuan dengan lembaga-lembaga kemanusiaan/bantuan yang bekerja di Desa Jono dan Wisolo, untuk berkoordinasi dan bersinergi dalam upaya mempercepat pemulihan desa paska bencana. Rapat koordinasi ini di laksanakan di kantor Penabulu di Kota Palu yang dihadiri oleh lembaga kemanusiaan, diantaranya:

  1. Penabulu
  2. Habitat for Humanity
  3. Catholic Relief Services (CRS) – PKPU
  4. Bumi Tanguh
  5. Oxfam

Dalam pertemuan koordinasi dan sinergi ini membahas tentang:

Pembahasan pertama: Masing-masing lembaga memperkenalkan profil lembaga, memaparkan fokus kegiatan bantuan, capaian kegiatan dan agenda kegiatan yang akan dilakukan serta mengupdate kondisi terkini sosial masyarakat Desa Jono dan Wisolo.

Pembahasan kedua: Mendata jenis bantuan, jumlah bantuan yang sudah terdistribusi dan jumlah penerima manfaat, mnganalisa secara bersama terhadap pemenuhan dan kekurangan kebutuhan bantuan di 2 desa sasaran. Membangun strategi bersama dalam pemerataan dan mempercepat pemulihan desa.

Pembahasan ketiga: Bersama-sama mendorong partisipatif masyarakat dalam upaya pemulihan desa pasca bencana dan membuat agenda rutin koordinasi .

“Kebun Kakao, Hunian Sementara Kita”

Hari dimana gempa pada tanggal 28/9/2018 telah memporak-porandakan Desa Wisolo, menyebabkan 361 rumah rusak berat dan 1.087 orang mengungsi. “goncangan gempa itu membuat desa kami dipenuhi hiruk pikuk kepanikan, teriakan dan tangisan ketakutan, yang terbesit adalah bagaimana kami dan keluarga kami selamat”. Saat itu kami sungguh-sungguh panik, kami berlari turun sejauh 2 km dari hunian kami di perbukitan. Semuanya gelap tak ada terang lampu satu pun saat itu, mungkin semua merasakan hal yang sama seperti kami. Yang paling menyedihkan, anak kami menjadi korban dalam gempa tersebut,” demikian yang dituturkan Yosep (32 tahun), Sersan Pintu Gereja Bala Keselamatan dan menjadi Kepala Tukang untuk pembangunan hunian sementara (huntara), Desa Wisolo, Dolo Selatan, Sigi. Kegagapan masyarakat tidak hannya terjadi pada saat gempa bumi, tetapi ancaman longsor dari bukit dan lipatan tanah, juga mengancam jiwa masyarakat.

Dampak kerusakan, Desa Wisolo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

“Kami tidur berkumpul dengan keluarga tanpa atap dengan alas seadanya selama 2 hari lamanya. Kurang lebih sebanyak ±178 KK di ladang kakao yang kami rasa menjadi titik teraman untuk tinggal sementara. Kami sadar bahwa ladang kakao ini bukan milik dari warga, tetapi kami butuh lahan ladang ini untuk rumah tinggal sementara . Kemudian, kami berinisiatif untuk meminta ijin kepada 6 pemilik ladang kakao untuk membangun hunian sementara di ladangnya, alhasil pemilik ladang memberikan ijin kepada kami selama 2 tahun untuk menggunakan ladang kakaonya sebagai tempat hunian sementara, dan kami pun bersyukur diperbolehkan untuk memanfaatkan ladang kakaonya sebagai hunian,” ujar Afenti yang menjabat Kepala Dusun 2 Desa Wisolo menjelaskan dengan bersemangat.

Anak anak Desa Wisolo masih membantu orang tua meski tinggal di Hunian Sementara yang terletak Kebun Kakao

Meskipun demikian, kebersamaan masyarakat menjadi modal sosial utama dalam upaya pemulihan bencana. Orang yang tidak mau disebut namanya, pemilik kebun kakao memersilakan warga desa yang merupakan penyintas untuk tinggal sementara pada kebun tersebut. Bermodalkan sisa reruntuhan warga bergotong royong membangun bersama rumah sementara (temporary shelter) untuk berlindung dari panas, dingin, dan hujan, sambul menunggu uluran tangan pemerintah, gereja, atau pihak lain agar lebih bermartabat.

Melihat kondisi tersebut Program Relief ICCO-Penabulu melakukan serangkaian dukungan untuk pemulihan Desa Wisolo, sejauh ini Program Relief ICCO-Penabulu akan mendukung 15 ruangan fasilitas MCK untuk pemenuhan 56 KK, 343 jiwa, Pembangunan Gereja sementara untuk 356 jamaah dan pipanisasi air bersih untuk pemenuhan 168 KK, 555 jiwa. Per Desember kami telah menyelesaikan pembangunan 9 ruang MCK, Selebihnya akan kami bangun sesegera mungkin di bulan Januari, agar cepat dimanfaatakan oleh masyarakat Desa Wisolo.

“Masih Ada Bhineka di Tepi Hutan Lore Lindu”

“bantuan untuk memerbaiki dan membangun Gereja sudah banyak yang membantu. Kami berharap bantuan perbaikan atau pembangunan tempat ibadah dapat diperbantukan untuk pembangunan Mushola yang sampai saat ini belum ada yang membantu pembangunan tempat ibadahnya.”

Kristison Towimba, SP. (37 tahun)
Kepala Desa Tangkulawi, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi

Kecilnya jumlah penganut Agama Islam Desa Tangkulowi tidak menjadikan mereka tersisihkan. Praktik toleransi terhadap minoritas ditujukkan nyata dalam kehidupan sehari hari. Hanya 25 KK dari 122 KK masyarakat yang tinggal di Desa Tangkulawi beribadah dengan keterbatasannya. Jauh dari tempat ibadah desa lain yang teletak kurang lebih 1 km dengan medan yang berbukit, tidak memungkinkan mereka khusuk dalam beribadah. Apalagi banyak anak yang membutuhkan pendidikan keimanan agar nilai nilai islami yang baik dapat tumbuh berkembang dengan umat yang lain. Sebagai kaum minoritas, mereka bisa hidup bersama dengan umat lain yang mayoritas dengan saling menghormati dan bekerja sama. Bahkan perbedaan keyakinan tersebut tidak menyebabkan konflik yang mencederai kehidupan sosial bermasyarakat.

Perbedaan keyakinan cenderung memberikan keindahan tersendiri. Keterikatan sosial tersebut dibuktikan dengan beberapa kegiatan keagamaan diantara mereka. Seperti pada perayaan hari besar agama, mereka saling terlibat, membantu, dan aktif bekerja sama merayakan dan bahkan mendukung dalam setiap pendirian tempat ibadah. “Kami diundang dan ikut kebaktian dalam gereja ketika Natal atau perayaan umat Kristen dan sebaliknya saat Sholat Ied saudara saudara Nasrani mengatur kendaraan bermotor, dan memberikan selamat dengan mengunjungi kami ketika perayaan Idul Fitri di kampung ini”, imbuh Taufik (53 tahun), Kepala Dusun 2 Desa Tangkulowi menjelaskan keharmonisan antar umat beragama Desa Tangkulowi. Keindahan kerukunan ini mendorong umat nasrani mendukung pendirian Mushola untuk Dusun 2 dan Dusun 3 Desa Tangkulowi.

Kebiasaan yang telah lama ada tersebut, diakui oleh Syahran (35 tahun) “kami membantu bergotong royong bersama membangun gereja. Bahkan saya sendiri ikut terlibat memotong kayu dan membawa menggunakan tali ke Tangkulawi bersama warga lain.” tegasnya. “seperti layaknya gotong royong mendirikan rumah, kami makan bersama dan saudara saudara nasrani selalu memeringatkan waktu sholat kami.” imbuh pemuda yang menjadi Ketua Panitia Pembangunan Mushola di desa ini.

Desa Tangkulowi berada di celah tepi hutan Lore Lindu atau tepatnya pada kawasan area penggunaan lain Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah ini merupakan wiayah yang terpencil dari layanan pemerintah atau sekitar 1-3 jam perjalanan dengan sistim buka tutup karena masih terjadi longsoran tanah dan batu yagn merusak infrastruktur jalan.

Keterpencilan tersebut membuat banyak pihak lalai dalam memberikan layanan kebuthan dasar bagi masyarakat di beberapa kampung yang berdekatan dengan Desa Tangkulawi seperti Desa Boladangku dan Bolapapu. Pelayanan hak-hak dasar bagi masyarakat sekitar kawasan ini didominasi dari pelayanan penginjil melalui layanan kesehatan dan pendidikan. Pengaruh layanan hak dasar ini mendorong masyarakat asli mendapatkan kepercayaan baru untuk dianut sebagai keyakinan yang dipilih oleh mayoritas masyarakat Desa Tongkulawi yang sebagian besar menganut agama Kristen.

Sedangkan keberadaan Agama Islam di kawasan ini dipengaruhi oleh “kawin-mawin” dengan warga diluar Desa Tangkulowi, Desa Bolapapu, dan Desa Boladangku. “..masuknya agama Islam ke Desa Tangkulowi karena terjadi kawin-mawin antara warga Desa Tangkulowi dengan Desa lain yang kebetulan beragama Islam. Seperti anak saya ikut masuk Islam karena suaminya dari Desa Namo beragama Islam dan tinggal di kampung ini (Tangkulowi)…” seperti yang dituturkan Raja Nai (65 tahun), Kepala Lembaga Adat Desa Tangkulowi.

Tahun 2014, Desa Tangkulawi melalui musrenbangdes mengalokasikan pembelian tanah untuk pendirian Mushola agar mendukung ibadah umat muslim di kedua dusun ini yang berjumlah 25 Kepala Keluarga. Warga Desa Tangkulowi khusunya Kepala Desa Tongkulawi sangat memperhatikan pendidikan keimanan anak-anak dari keluarga muslim karena ketiadaan rumah ibadah. “…saya terdorong melihat anak-anak dari saudara kami muslim belum mendapatkan ajaran keimanan yang mereka yakini,

Toleransi masyarakat muslim dan nasrani, terlihat dari gotong-royong pembangunan Mushola Al-Falaq dengan dukungan ICCO-Penabulu di Desa Tangkulowi.

Kristison Towimba (Kepala Desa Tangkulowi) menegaskan kebijaksanaannya ketika Tim ICCO – Penabulu akan memberikan bantuan perbaikan gedung gereja akibat kerusakan yang ditimbulkan gempa bumi di Desa Tongkulowi. Penegasan Kepala Desa tersebut menjadi potret keharmonisan dari keberagaman keyakinan masyarakat Desa Tongkulowi yang membuktikan masih ada bhineka di tepi Hutan Lore Lindu.

Dengan melihat kondisi dan rekomendasi dari pemerintah desa dan masyarakat Desa Tangkulowi, Program Relief ICCO-Penabulu melakukan serangkaian dukungan pemulihan pembangunan desa. Sejauh ini kami telah mendistribusikan 80 paket peralatan pertukangan ke 109 KK untuk pembangunan hunian sementara dan terbangunnya 6 ruang MCK untuk pemenuhan 52 KK, 177 jiwa. Dukungan lain yang segera kami selesaikan di bulan Januari yaitu pembangunan mushola permanen untuk sarana ibadah 25 KK, 91 jiwa, pipanisasi untuk pemenuhan air bersih 35 KK, 57 jiwa dan 3 ruang MCK untuk pemenuhan 12 KK, 36 jiwa.

“Bersama Membangun Desa (Mosinggani Mombangu Ngata)”

Land Clearing yang dilakukan Penyintas Desa Jono, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi

Tragedi bencana yang terjadi pada Jumat petang, (28/9/2018) ‎masih teringat jelas diingatan masyarakat Desa Jono, Kecamatan Dolo Selatan, Sigi, Sulawesi Tengah.

Trauma tentu dirasakan oleh mereka, dimana mereka harus berhadapan dengan bencana yang menelan banyak korban jiwa. Kehilangan keluarga, saudara, anak dirasakan masyarakat Jono. “Kami kerap menyanyikan lagu yang dibuat untuk mengenang peristiwa bencana gempa yang mengguncang Sigi. Lagu itu mereka nyanyikan dengan kompak dan penuh penghayatan sehingga membuat para korban pengungsian disana terharu. Tidur berkumpul tanpa atap dan beralaskan tanah selama empat hari dirasakan oleh mereka. Tapi satu yang membuat mereka kuat, bahwa dibalik bencana ada rencana baik Tuhan. Tak ada satupun plang yang bertuliskan meminta bantuan terpasang di tepian jalan, karena menurut mereka menjatuhkan harga diri,” ujar Harianto (38 tahun), Kepala Desa Jono, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi.

Lapar, dingin bukan berarti mereka harus meminta-minta kepada orang. Beberapa desa, masyarakat ribut bahkan sampai berkonflik karena bantuan, namun sebaliknya masyarakat Jono memperlihatkan bagaimana mereka mengelola bantuan dengan baik, mendistribusikan kepada masyarakat tanpa ada satupun masyarakat yang mengeluh.

Program Relief ICCO-Penabulu mendukung pembangunan 51 unit kerangka hunian sementara (huntara) untuk 51 KK yang belum mendapatkan akses bantuan huntara. Selain itu kami juga memberikan dukungan akses penerangan dan instalasi kabel listrik kepada 49 KK lainnya yang telah memiliki huntara. Serta dukungan 45 unit bangku Gereja dan 1 unit speaker untuk fasilitas ibadah, pipanisasi air bersih untuk 160 KK, 529 jiwa. Sehingga seluruh masyarakat Desa Jono cepat mendapatkan akses tempat tinggal sementara. Hezron 45, Kepala Dusun 1, Desa Jono, menjelaskan, “..kehadiran dan keterlibatan kawan kawan penabulu menjadikan kekompakan kami lebih kuat. Dan jaringan komunikasi dengan organisasi lain pun terkomunikasikan dengan baik. Seperti dalam pembangunan hunian sementara ini. Setidaknya kekurangan bahan dan pasokan dalam pembangunan hunian dapat tercukupi.”

Proses Pembangunan Hunian Sementara Desa Jono, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi

Gotong royong juga diperlihatkan oleh masyarakat Jono, bagaimana mereka bekerja sama merubuhkan bangunan dan membersihkan puing-puing bangunan tanpa mengharap bantuan dari pihak manapun. Masyarakat dan Tim ICCO – Penabulu bekerja sama membangun desa tanpa upah. “Sudah bersyukur kita dibantu, kami memang tak sekolah, kami tak pandai berbicara, tapi kami akan bekerja sama membangun kampung, ini untuk kita, itu untuk kita kalau bukan kita yang membangun, siapa lagi. Sikap inilah yang selalu ditonjolkan oleh masyarakat Jono dalam setiap kegiatan membangun kampung,” Arjan (40 tahun), Kepala Dusun 3, Desa Jono.

Setidaknya, bencana tidak membuat penyintas tidak memiliki kapasitas dan hanya menjadi peminta bantuan. Tetapi gaya kepemimpinan yang egaliter dan adil, dapat merubah kultur masyarakat yagn memiliki kelekatan sosial tinggi. “dulu warga kami paling suka mabuk mabukan dan sulit diatur sehingga dalam membangun kebijakan desa, saya harus keras  membangun dan mendidik masyarakat serta mencari jalan keluar setiap masalah di desa kami. Dan saya bersyukur, dengan kerja keras bersama perangkat desa lainnya, warga Desa Jono bisa berubah. Tidak hanya mementingkan diri mereka sendiri tetapi saling bahu membahu membantu warga lain tanpa embel-embel apapun. Mereka percaya bahwa kekompakan warga bisa membangun desa lebih baik lagii setelah bencana ini terjadi pada kami,” imbuh Harianto (38 tahun) Kepala Desa Jono ketika bertandang ke Pos Relawan ICCO – Penabulu.

“Bencana: Saatnya Menghadapi Kesulitan Bersama-sama”

Hari Jumat, tanggal 28 September 2018 telah terjadi bencana alam berupa gempa bumi dengan kekuatan 7,4 SR dengan di susul dengan longsoran akses untuk masuk ke Desa Boladangko. Pada kejadian pukul 18.00 tersebut warga langsung berkumpul dan diarahkan khususnya Dusun Kekea oleh aparat desa untuk berkumpul di Lapangan Bola Boladangko. Salah satunya adalah Muhamad (46). Rumahnya rusak sedang sehingga masih layak di huni walau beberapa siku rumah terlepas. Dia masih tinggal bersama kedua anak dan istrinya di Posko pengungsian Dusun Kekea, Desa Boladangko, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Mereka tinggal di posko pengungsian dikarenakan masih takut tinggal di rumah mereka akibat susulan gempa masih sering terjadi.

Sekolah Dasar Sementara yang berada di halaman rumah milik Muhamad, Desa Boladangko, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi

anak – anak harus melanjutkan pendidikan mereka dan butuh lahan bermain yang aman serta nyaman untuk sementara agar meraka tidak takut terhadap gempa. Jadi, saya memersilakan menggunakan lahan kebun saya yang dekat dengan posko pengungsian untuk dijadikan lokasi mendirikan sekolah darurat” demikian yang dikatakan Muhamad pemilik tanah dan rumah. Setelah sekolah terbangun dan proses belajar dimulai walau belum normal tetapi anak – anak kembali ceria saat bisa bermain bersama. Selain kebun beliau juga merelakan rumahnya dijadikan Posko relawan termasuk didalamnya kebutuhan air, MCK dan listrik, diberikan secara cuma-cuma.

Seperti juga dikatakan oleh Haji Abdul Razak, Ketua MUI Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, “..sikap kebersamaan antar masyarakat disini sangat tinggi. Tidak memandang apapun dan kami bisa menghadapi bersama bencana ini…” demikian tuturnya.

Kerusakan infrastruktur Desa Boladangku, Kecamatan Kulawi, Sigi

Pada kondisi terkena bencana, banyak orang terkadang memiliki sifat individualis dengan menyelamatkan aset seperti tanah dan bangunan untuk dijadikan tempat tinggal, tetapi salah satu penyintas yang memiliki aset malahan merelakan tanah dan bangunan rumahnya untuk dijadikan posko, hunian sementara, dan sekolah untuk kepentingan umum dan distribusi bantuan masyarakat terkena bencana.

Dalam upaya mendukung pemulihan pasca bencana di Desa Boladangko, sejauh ini, Program Relief ICCO-Penabulu telah melakukan mendistribusikan 80 paket peralatan pertukangan ke 170 KK, 571 jiwa untuk pembangunan hunian sementara dan terbangunnya 3 ruangan MCK untuk pemenuhan 54 KK, 172 jiwa. Bulan Januari kami akan segera menyelesaikan renovasi mushola permanen untuk sarana ibadah 52 KK, 165 jiwa, pipanisasi untuk pemenuhan air bersih 210 KK, 411 jiwa serta pembangunan 6 ruangan MCK untuk pemenuhan 60 KK, 202 jiwa.